Hari ini, hampir semua orang bisa menggunakan gawai. Anak-anak sudah terbiasa menonton video di internet sebelum mereka bisa membaca. Remaja bisa membuat konten viral dengan cepat, bermain gim online dengan lancar, dan tahu tren digital bahkan sebelum media massa membahasnya. Generasi ini sering disebut sebagai generasi digital, mereka tumbuh bersama teknologi, sangat cakap dalam menggunakannya, dan hidup nyaris tidak bisa lepas dari internet.
Namun, satu hal yang sering terlewatkan adalah bahwa kemampuan menggunakan teknologi tidak selalu sejalan dengan kemampuan memahami informasi. Kita menyebutnya literasi. Dalam arti sederhana, literasi adalah kemampuan untuk membaca, menulis, memahami, dan berpikir kritis. Literasi bukan hanya soal bisa mengeja atau menulis status, tapi soal bagaimana seseorang dapat mengolah informasi dan mengambil keputusan yang tepat dari sana.
Ironisnya, meski generasi saat ini sangat akrab dengan dunia digital, banyak di antaranya justru gagap dalam hal literasi. Kita terbiasa membaca cepat, menggulir layar tanpa menyerap isi, dan lebih tertarik pada judul provokatif ketimbang isi artikel yang panjang. Kita cepat membagikan berita, tapi jarang mengecek sumbernya. Kita aktif berkomentar, tapi kadang tanpa pertimbangan makna dan dampaknya.
Hal ini berbahaya. Di tengah derasnya informasi yang masuk setiap detik, baik dari media sosial, aplikasi pesan, atau mesin pencari, kemampuan literasi sangat dibutuhkan agar kita tidak mudah tertipu. Banyak contoh kasus yang terjadi karena kurangnya literasi digital dan kritis: mulai dari menyebarnya hoaks kesehatan, penipuan daring berkedok hadiah, hingga perundungan yang berasal dari salah tafsir terhadap konten.
Kecanggihan teknologi seharusnya membuat kita semakin cerdas, bukan semakin lengah. Untuk itu, kita perlu menyeimbangkan antara kecakapan teknologi dan kekuatan literasi. Misalnya, saat membaca berita, kita perlu mengecek apakah sumbernya terpercaya, apakah isinya faktual, dan apakah informasi itu benar-benar penting untuk dibagikan. Literasi juga mencakup kesadaran akan etika berinternet. Kita tidak hanya harus tahu bagaimana membuat unggahan, tetapi juga memahami konsekuensinya. Jejak digital yang kita tinggalkan bisa berdampak besar di masa depan, baik pada diri sendiri maupun orang lain.
Jadi, jangan sampai kita hanya pintar menggunakan teknologi, tetapi miskin dalam memahami isi dan makna dari apa yang kita konsumsi. Jangan sampai kita menjadi generasi yang cepat jempolnya, tapi lemah dalam berpikir. Karena generasi yang kuat bukan hanya mereka yang bisa menggunakan teknologi dengan canggih, tapi mereka yang tahu kapan harus membaca, bertanya, menganalisis, dan bersikap bijak.
Teknologi adalah alat, tapi literasi adalah kompas. Mari kita gunakan keduanya dengan seimbang, agar kita tidak hanya menjadi generasi yang terhubung, tapi juga generasi yang sadar, cerdas, dan bertanggung jawab.